Friday, October 17, 2008

Memilih Teman Karib

Orang yang engkau pilih menjadi teman karib hendaklah mempunyai lima sifat:

Pertama, orang yang berakal. Karena akal merupakan modal yang utama. Tidak ada kebaikan bersahabat dengan orang bodoh, karena bisa saja ia hendak memberikan manfaat kepadamu tetapi justru memberimu mudharat

Kedua, baik akhlaknya. Sebab berapa banyak orang berakal tetapi dirinya lebih dikuasai amarah dan nafsu, lalu tunduk kepadanya, sehingga tidak ada manfaat bergaul dengannya.

Ketiga, bukan orang fasik. Sebab orang fasik tidak takut kepada Allah.

Keempat, bukan ahli bid'ah. Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid'ah yang dilakukannya.

Kelima, tidak rakus terhadap dunia

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy)

Wednesday, October 08, 2008

Jangan Takut Kaya

By: Ust. Tate Qomaruddin, Lc

Dari Abi ‘Abdillah Tsauban bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.” (H.R. Imam Muslim)

Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari hadis di atas, antara lain: pertama, di hadapan seorang muslim, terbuka lebar banyak pintu untuk berbuat baik dengan harta. Kedua, menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta (infak) yang dilakukan seorang muslim, bahwa memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak yang paling mulia. Dalam hadis lain disebutkan,
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu.” (H.R. Imam Muslim)

Persoalannya adalah, tidak mungkin kita dapat berinfak dengan harata jika kita tidak memilikinya. Lebih-lebih jika kita mencermati ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan kita terlibat dalam jihad. Selalu saja disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari semua ayat yang memerintahkan kita berjihad dengan harta dan jiwa, berjihad dengan harta selalu didahulukan, kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111 Surah At-Taubah, yang maknanya,

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan (mendapatkan) surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”

Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut,
“Wahai orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu perniagaan yang menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah denganh harta dan jiwa kalian.” (Q.S. Ash-Shaf 61: 10-11)

Ini diperkuat dengan adanya kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang ada kesalahan persepsi pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering dipahami begini: "Kalau punya harta, zakatlah. Kalau tidak punya, tidak usah mengeluarkan zakat". Secara fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan. Semangat perintah zakat harusnya dipahami: "Carilah uang, kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan perintah Allah yang bernama zakat". Seharusnya kita membawa semangat shalat untuk diterapkan pada zakat. Kita selalu berpikir, kita harus bisa melaksanakan shalat dengan segala perjuangan yang menjadi konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat, mencari tempat shalat, menentukan arah kiblat, menyucikan diri, dan seterusnya.

Itu semua mematahkan anggapan yang masih dianut sebagian orang bahwa kesalihan dan ketakwaan identik dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata, dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya, orang kaya dan orang yang punya jabatan tidak punya tempat di surga. Ini diperparah dengan sering disitirnya hadis-hadis dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia sejauh-jauhnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin juga menyitir hadis sahih tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.

Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah swt. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material lainnya. Orang yang merasa puas dengan apa yang Allah berikan sembari meniadakan keterikatan hatinya dengan harta dan jabatan, tidaklah kehilangan sifat zuhud sekalipun ia kaya raya.

Utsman Bin ‘Affan adalah konglomerat dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk surga. Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau juga termasuk yang dijamin masuk surga. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah yang kaya raya. Tapi justru dia termasuk orang zuhud.

Posisi harta dalam Islam sama dengan posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya ujian! Allah swt. menegaskan,

“Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian.” (Q.S. Al Anbiya 21: 35)

Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani Israil adalah pada wanita.” (H.R. Imam Muslim)

Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih meninggalkan harta, melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala,

Pertama, hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini batu ujian pertama. Rasulullah saw. bersabda, "Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik dan beramal salehlah karena sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian lakukan.’ Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian.’” Lalu Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang mengadakan perjalanan panjang, kusut masai dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya (berdoa) ke langit (sambil mengatakan), "Ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan.” (H.R. Imam Muslim)

Kedua, harta itu tidak menyebabkan sombong.
Orang yang sukses mengelola harta adalah orang yang dengan hartanya justru semakin rendah hati dan menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin ‘Auf yang padahal termasuk orang yang dijamin masuk surga pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika ditanya penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut hanya yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku dari Allah.”

Ketiga, menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh.” Beliau juga memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari neraka walau dengan hanya sebuah kurma.”

Keempat, menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih baik lagi. Karena selain bernilai taqarrub, perbuatan itu juga merupakan upaya silaturahim. Rasulullah saw. bersabda, “Shadaqah kepada orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan).” (H.R. Tirmidzi)

Kelima, menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan finansial. Kekuatan kuffar harus dihadapi dengan kekuatan optimal kaum muslimin. Dan ini tentu saja salah satu kekuatan itu adalah kekuatan maliyyah (finansial).

Jadi, Islam tidak memusuhi harta. Islam juga tidak mengajarkan umat Islam memusuhi orang kaya. Surga terbuka bagi orang kaya. Yagn penting ajaran Islam tentang pengelolaan kekayaan dipatuhi. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Wallahu a’lam.

Sumber: percikaniman.org

Kemelut Rumah Tangga

Kemelut Rumah Tangga (Perselingkuhan dalam Rumah Tangga)

1. Cemburu yang berlebihan
”Sesungguhnya diantara cemburu ada cemburu yang dibenci Allah, yaitu cemburu seorang kepada Suami/Isteri tanpa alasan” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i)

2. Tidak Menjaga Rahasia
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. 2 : Al Baqarah : 187)

3. Terjadi Perbedaan Sudut Pandang
”Janganlah kamu saling marah, jangan saling benci, jangan saling acuh satu sama lain, tapi jadilah kamu satu saudara, tak halal bagi seorang muslim memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari” (H.R. Muslim)

4. Perselingkuhan

a. Perselingkuhan Materi
– Tidak ada keterbukaan dalam mengelola keuangan keluarga-

b. Perselingkuhan Hati

Solusi Selingkuh Hati yang Salah (Isteri) :
· Berdo’a

· Bersikap baik pada suami
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. 41 : Fushshilat : 34-35)

· Berikhtiar mengendalikan emosi
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. 3 : Ali Imran : 133-134)

· Lakukan Interospeksi
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. 59 : Al Hasyr : 18)

· Konsultasikan dengan orang yang tepat
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Al Mujadilah : )

Solusi Selingkuh Hati yang Salah (Suami) :

· Harus Introspeksi diri
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. 59 : Al Hasyr : 18)

· Memberikan Nasehat
· Melibatkan orang lain (konsultasi) {Do’a}
· Talak {Do’a}

Resensitor : Kang Yadi Mulyadi

Ciri Istri Sholehah

tentang-pernikahan.com - Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.

Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ''Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ...'' (HR Hakim).

Ketiga, istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ''Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.''(QS Ar Rum : 21).

Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.'' (HR Thabrani dan Hakim).

Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita, para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi 'yang terbaik', sementara kita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imam ideal bagi keluarga kita masing-masing.

Sumber: tentang-pernikahan.com

Puasa Syawal

Dari Abi Ayyub Al-Anshari, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia berpuasa selama satu tahun (HR. Jama'ah). Subhanallah, Mahasuci Allah, Dzat yang telah menurunkan aturan-Nya melalui Rasul-Nya yang begitu indah dan tinggi nilainya. Setelah kita berpuasa selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadhan, diselingi hari raya satu hari, lalu kemudian kita dianjurkan untuk berpuasa selama enam hari dengan imbalan nilai pahala yang begitu besar, seolah-olah berpuasa selama satu tahun.

Sayyid Tsabiq dalam Fiqhus Sunnah (III: 221) memberikan komentar terhadap hadis ini bahwa setiap kebaikan akan mendapatkan balasan 10 kali lipat (Q.S. 6:160). Puasa satu bulan (Ramadhan) senilai dengan 10 bulan, dan enam hari senilai dengan 60 hari (dua bulan), sehingga jumlahnya senilai dengan dua belas bulan. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa puasa tersebut boleh dilaksanakan enam hari secara terus menerus mulai tanggal dua sampai tujuh Syawal, atau dilaksanakan berselang-seling, yang penting dalam bulan Syawal. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafii berpendapat, bahwa yang lebih utama nilainya, puasa tersebut dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri secara terus menerus selama enam hari.

Ada beberapa hikmah dan tujuan mulia, kenapa ada anjuran puasa sunnah setelah kewajiban puasa. Hikmah itu antara lain untuk menanamkan pengertian dan kesadaran bahwa ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT, tidaklah hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun sepanjang waktu. Benar, bahwa bulan Ramadhan adalah Sayyidussyuhur (panglimanya bulan-bulan). Tetapi bukan berarti ibadah dan taqarrub itu hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja. Sayangnya, kita masih melihat betapa banyak kaum muslimin yang merasa terbebas dari 'belenggu ibadah' manakala Idul Fitri datang. Lalu tidur sepulas-pulasnya dan makan sekenyang-kenyangnya. Seolah-olah latihan panjang selama Ramadhan tidak memberikan bekas sedikit pun. Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Khashais al 'Ammah Fi al Islam (1989:137) menyebut orang-orang tersebut dengan 'Ramadhani' (spesialis bulan Ramadhan).

Hikmah kedua, jika orang sudah bisa mengendalikan dirinya, terutama pada saat mendapat kesempatan dan dengan situasi sosial yang mendukungnya, maka Insya Allah orang tersebut akan mampu mengendalikan diri sepanjang hayatnya. Pada saat ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya ataupun mendapat sebuah kedudukan, meski dengan jalan mengorbankan harga diri dan kejujuran, maka ia akan tetap tegar mampu mengendalikan dirinya tidak hanyut pada arus penghalalan segala cara tersebut. Dengan demikian, orang yang mampu mengendalikan dirinya adalah orang yang memiliki sayyidul akhlak (panglimanya akhlak), demikian sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis riwayat Imam Daelami dari Anas. Wallahu 'alam bishshawab

Sumber: republika.com

Bulan Aktualisasi

By A. Ilyas Ismail

Dalam kalender hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai bulan Syawal. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab pra-Islam memiliki pandangan negatif mengenai bulan ini. Mereka, misalnya, menolak atau melarang melangsungkan pernikahan di dalamnya. Namun, tradisi ini dibatalkan oleh datangnya Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri, seperti dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, menikahi Aisyah pada bulan Syawal dan memulai hidup bersama dengannya juga pada bulan Syawal. Kenyataan ini dibanggakan sendiri oleh Aisyah. Katanya, ''Siapa di antara isteri-isteri Nabi seberuntung aku di sisinya?''

Kata Syawal berasal dari kata Syala, berarti naik atau meninggi (irtafa'a). Dikatakan menaik atau meninggi, boleh jadi karena dua alasan. Pertama, karena pada bulan ini, kedudukan dan derajat kaum muslimin meninggi di mata Tuhan setelah mereka menjalankan puasa Ramadhan sebulan lamanya, seperti dijanjikan Nabi SAW dalam sekian banyak hadis. Kedua, karena secara moral kaum muslimin dituntut untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai yang mereka tempa selama bulan Ramadhan. Semangat Ramadhan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kejujuran, kesabaran, disiplin, takwa, dan kesetiakawanan sosial harus tetap nyata pada bulan Syawal ini dan bulan-bulan berikutnya sepanjang hidup kita. Jadi, Syawal, sesuai dengan makna hafiahnya, dapat disebut sebagai bulan aktualisasi nilai-nilai.

Peningkatan dan aktualisasi nilai-nilia di atas, agaknya memang perlu kita ingat. Tidak semua kaum muslimin mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengabaikannya bersamaan dengan berlalunya bulan suci itu. Kenyataan ini tidak saja berlawanan dengan prinsip istiqamah, sikap keberagamaan yang stabil dan konstan, tetapi juga bertentangan dengan hakekat agama itu sendiri yang dalam Kitab Suci disimbolkan dengan istilah-istilah seperti shirath, sabil, syari'ah, dan minhaj, yang kesemuanya berarti jalan.

Ini mengandung makna bahwa keberagamaan itu adalah suatu perjalanan panjang tanpa henti dan tanpa kenal lelah. Tujuan akhir agama itu adalah perjumpaan dengan Tuhan itu sendiri dalam perkenan-Nya. Dalam perjalanan itulah terdapat suatu dinamika dan kebahagiaan yang sungguh sangat sejati bagi orang yang menempuhnya, terutama ketika ia semakin dekat (taqarrub) dengan Tuhannya.

Sikap dan semangat keberagamaan seperti itulah agaknya yang dipesan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya kepada seluruh kaum muslimin dalam ayat ini: ''Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu menuju dan berharap.'' (Q. S. 94: 7-8).

Sumber: republika.com

Monday, September 29, 2008

Gunung

Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”


Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”

Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.

Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.

Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”

Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.

“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”

Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
**

Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.

Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.

Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”

Sumber: Eramuslim

Monday, September 15, 2008

Membiasakan Shalat Berjamaah

Oleh : Abdullah Gymnastiar

Allah SWT menekankan hamba-Nya untuk shalat berjamaah. Dalam firman-Nya “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”. Anjuran Allah tersebut bukan hanya mendirikan shalat, tapi juga anjuran shalat berjamaah dengan sarana masjid.

Allah memberikan perumpamaan bagi yang datang ke masjid lebih awal, sebelum adzan berkumandang, dengan matahari. Bagi yang menuju ke masjid dalam keadaan adzan dengan bulan, dan yang datang ke masjid setelah adzan dengan bintang. Jika dilihat dari segi cahayanya, tentu sinar matahari lebih bercahaya daripada bulan atau bintang. Namun, tak sedikit yang menyadarinya sehingga nyaman shalat sendiri.

Enggan melangkahkan kaki ke masjid bisa jadi karena penyakit malas. Malas mengayunkan kaki pergi ke masjid. Malas menanggalkan aktivitas yang dirasa lebih penting. Malas kelihatan hebat, bisa menaklukan jutaan orang. Padahal malas tak ubahnya seperti tripleks yang mudah rapuh kena hujan dan panas, serta mudah didobrak.

Malas hanya dapat dikalahkan dengan melawannya. Ingat, dobrakan itu hanya di awal saja. Pada awal mungkin kita merasa kesulitan pergi ke masjid, tetapi setelah satu kaki diayunkan, itu awal keberhasilan menaklukan malas. Begituhalnya ketika adzan berkumadang dalam keadaan bekerja. Keinginan untuk meneruskan pekerjaan begitu menggebu. Terasa sayang jika harus di jeda. Namun, jika seketika kita sanggup menghentikannya, kita telah berhasil memenuhi panggilan-Nya.

Penyebab lain, karena tidak tahu keutamaan berjamaah. Padahal dengan berjamaah akan terjalin keharmonisan, tersadarkan akan eksistensi sebagai hamba. Ketika dalam shaf yang sama bersama hamba Allah yang lain, dengan niat, tujuan yang disembah sama. Dengan begitu semakin sadar akan hamba Allah. Bila mau hitung-hitungan pahala, pahala berjamaah dua puluh tujuh derajat lebih besar daripada shalat sendiri. Subhanallah.

Untuk itu saudaraku, mari kita prioritaskan shalat berjamaah di masjid dengan tepat waktu. Jangan manjakan diri dengan kemalasan karena sesunguhnya malas itu datangnya dari setan yang sekali terkelabui, terjerat selamanya. Wallahu ‘alam bishawab.

http://www.cybermq.com/index.php?kolom/detail/2/455/kolom-455.html

Friday, September 05, 2008

Khusyu' dalam Shalat

Dr H Shobahussurur MA

Sahabat Rasulullah SAW, Hudzaifah r.a mensinyalir bahwa hal pertama yang akan lenyap dari agama Islam adalah khusyu’, sedangkan yang terakhir adalah shalat. Kelak akan banyak orang yang mengerjakan shalat, tapi tidak memperoleh kebaikan di dalamnya. Kamu hampir tidak menemukan seorangpun yang melaksanakan shalat dengan khusyu’ ketika masuk ke dalam masjid.

Hudzaifah r.a. selanjutnya berkata: “Hindarilah olehmu khusyu’ munafiq, yaitu kamu melihat tubuh seseorang dalam keadaan khusyu’ tapi hatinya tidak”. Fudhail bin Iyadh menambahkan: “Sangat dibenci ketika seseorang kelihatan khusyu’, padahal hatinya tidak demikian. Ketika ada seseorang yang kedua pundak dan badannya kelihatan khusyu’, maka dikatakan kepadanya: “Hai Fulan, khusyu’ ada di sini sambil menunjuk dadanya dan bukan disini sambil menunjuk kedua pundaknya”. (Ibn Qayyim, Madârij al-Sâlikîn, 1/521).

Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa khusyu’ dalam shalat dapat timbul karena dua hal, yaitu: 1)- karena keinginan yang kuat, dan 2)- kemampuan mengatasi rintangan. Keinginan kuat dimaksudkan kesungguhan seseorang dalam merenungkan, memahami, dan menghayati ucapan dan bacaan dalam shalat, dengan keyakinan bahwa dia saat shalat itu sedang berkomunikasi dengan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah tentang makna al-ihsân: Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya, dan jika Engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (H.R. al-Bukhârî). Kemampuan mengatasi rintangan maksudnya adalah tekad yang kuat untuk menolak segala hal yang dapat melalaikan hati dari tafakur dan berzikir kepada Allah selama menunaikan shalat. Menghindarkan perasaan was-was (keraguan) dalam shalat karena gangguan nafsu syahwat. (Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, 22/606-607).

Oleh karena itu dalam rangka menghadirkan khusyu’ dalam shalat diperlukan usaha-usaha, antara lain:

1. Melakukan persiapan awal sebelum mendirikan shalat, dengan terlebih dahulu menghayati lafadz Azan yang dikumandangkan oleh muazin, lalu mengikutinya dengan doa. Kemudian mensucikan diri dari hadats kecil dan besar, lengkap dengan melakukan rukun dan sunnahnya. Menggunakan pakaian yang suci dan bersih dengan memperhatikan bahwa pakaian yang dipakai itu didapatkan dari cara-cara yang halal, menutup aurat, membersihkan tempat shalat, menuju ke masjid dengan tenang sambil berzikir dan berdoa, meluruskan dan merapikan barisan, serta mengkondisikan suasana di masjid itu tenang dan aman.

2. Melakukan gerakan-gerakan dalam shalat secara thuma’nînah (tenang), baik ketika berdiri, ruku’, sujud, bangun dari sujud, dan begitu seterusnya. Sabda Nabi Saw.: “Tidak sempurna shalat salah satu di antara kalian, sehingga dia melakukan gerakan-gerakan shalat secara thuma’nînah (tenang). H.R. Abu Daud. Nabi memberi perumpamaan orang yang shalat tanpa thuma’nînah itu ibarat pencuri yang mencuri shalatnya, mencuri ruku’ dan sujudnya karena tidak menyempurnakannya.

3. Mengingat kematian di dalam shalat. Rasulullah berpesan kepada Abi Ayyub r.a.: “Apabila kamu berdiri untuk melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti orang yang pamitan (pergi tak kembali). H.R Ahmad. Dalam hadits riwayat Ibn Hajar, Rasulullah bersabda: “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu, karena jika seorang mengingat kematian dalam shalatnya niscaya akan menyempurnakan pelaksanaan shalatnya. Hendaknya kamu melaksanakan shalat seperti shalatnya orang yang tidak yakin akan dapat melaksanakaan shalat lagi”. Dengan begitu seseorang akan melakukan shalat dengan khusyu’ karena shalat yang sekarang dilakukan diyakini sebagai shalat terakhir, tidak tahu apakah shalat berikut dapat dilakukan karena kematian telah menjemputnya.

4. Merenungi dan menghayati ayat-ayat dan zikir yang sedang dibaca, yaitu dengan cara mengetahui arti dan makna dari ayat, zikir atau doa yang dibaca. Ada sebuah riwayat dari Hudzaifah r.a., bagaimana Rasulullah menghayati ayat-ayat dan doa yang dibaca dalam shalat. Bahwa pada suatu malam ketika Rasulullah melaksanakan shalat, maka beliau membaca al-Quran sambil menguaraikannya (membaca pelan-pelan sambil menghayati maknanya). Bila dalam ayat yang dibaca itu ada kata-kata yang mengandung tasbîh (memahasucikan Allah), maka beliau pun bertasbih. Bila ada kalimat Tanya, beliaupun bertanya. Bila ada kalimat yang mengandung makna ta’awudz (memohon perlindungan), maka beliaupun memohon perlindungan”. H.R. Muslim. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa pada suatu malam ketika melakukan shalat beliau tidak henti-hentinya menangis. Bilal bertanya: Ya Rasulullah, mengapa Engkau menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu ataupun yang akan dating ?. Beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang pandai bersyukur?. Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang menunjukkan kecelakaan bagi orang-orang yang membacanya tetapi tidak merenungi dan menghayati isinya”. H.R. Ibn Hibbân.

5. Membaca ayat-ayat dan doa secara tartil (Q.S. al-Muzammil/73: 4), dimaksudkan agar orang yang melakukan shalat membaca ayat-ayat secara perlahan sambil bertafakkur memahami isinya, memperbagus suara agarlebih khusyu’. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling indah suaranya dalam membaca al-Quran adalah orang yang apabila kamu mendengarnya membaca, kamu memandang dia karena taku kepada Allah. H.R. Ibn Mâjah.

6. Yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa, zikir dan shalat kita. Kita meyakini bahwa kita sedang berkomunikasi dengan Allah. Apa yang kita baca, permohonan yang kita panjatkan didengar langsung oleh Allah. Maka kita tidak pernah lalai ketika berhadapan dengan-Nya. Raslullah bersabda: Sesungguhnya salah seorang di antara kamu, apabila mendirikan shalat, pada hakikatnya dia sedang bermunajat (memohon kepada Allah). Oleh karena itu hendaklah dia memperhatikan bagaimana cara dia bermunajat kepada Tuhannya”. H.R. Hakim.

7. Melakukan gerakan-gerakan shalat sesuai dengan tuntunan yang disyariahkan. Ketika takbir, meletakkan kedua tangan, rujuk, sujud, duduk dan seterunya dilakukan sesuai dengan tuntunan. Tidak membuat cara-cara sendiri, sehingga akhirnya menyalahi tuntunan Rasulullah Saw.

8. Menundukkan pandangan ke arah tempat sujud. Untuk menambah kekhusyu’an, maka orang yang shalat pandangannya hendaknya terpusat pada satu titik, yaitu tempat sujud. Tidak menoleh ke sana kemari, ke atas atau ke kiri kanan. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw apabila mendirkan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. H.R. Hakim. Pada waktu duduk tasyahud, beliau memberi isyarat dengan telunjuknya disertai dengan mengarahkan pandangannya kepada isyarat tersebut. H.R. Ahmad.

9. Tidak mengerjakan shalat ketika makanan siap saji. Rasulullah bersabda: “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan” (H.R. Muslim). Hal itu dapat dipahami, karena orang yang shalat akan terganggu ingatannya menuju makanan yang dihidangkan itu.

10. Tidak mengerjakan shalat dalam keadaan menahan kentut, buang air kecil atau besar. H.R. Abu Daud menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menyuruh buang air dulu sebelum melakukan shalat. Bahkan andaikata pada saat shalat keinginan buang hajat itu muncul, maka hendaknya membatalkan shalatnya untuk segera buang air. Sabda Nabi Saw: Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak ada pula ketika berkeinginan buang air kecil atau besar”. H.R. Muslim.

11. Tidak mengerjakan shalat ketika mengantuk. Rasulullah bersabda: Apabila seorang di antara kamu mengantuk ketika mengerjakan shalat, hendaknya dia tidur dulu sehingga mengerti apa yang diucapkan. H.R. al-Bukhari. Hal itu terjadi biasanya pada waktu shalat malam atau shalat Shubuh. Khusyu’ tentu tidak dapat diraih ketika kantuk itu datang.

12. Tidak melakukan gerakan-gerakan diluar gerakan yang diajarkan dalam shalat, umpamanya merapikan pakaian, tempat shalat, mengaruk-garuk badan, menguap, meludah pada waktu shalat. Rasulullah bersabda: Janganlah kamu meratakan (membersihkan) tanah tempat sujud ketika shalat, namun jika mesti dikerjakan maka cukup satu kali saja”. H.R. Abu Daud. Juga kegiatan-kegiatan lain diluar gerakan shalat hendaknya dihindari, agar dapat berkonsentrasi pada bacaan-bacaan shalat.

Marilah kita belajar khusyu’ dalam shalat sehingga shalat kita memberikan arti bagi kita dan orang lain. Jangan sampai shalat kita hanya sekedar menjadi kegiatan rutin tak bermakna yang membebani setiap pelakunya. “Sesungguhnya shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (Q.S. al-Baqarah/2: 45). Mari kita jadikan shalat sebagai kegiatan rutin yang kita cintai, senang melaksanakannya, menghayati kandungannya, dan membawa pengaruh positif bagi kehidupan kita. Kita berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, lalai dalam shalat, dan sia-sia saja apa kita kerjakan. Naûdzu billâh.


*) Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Contoh Tauladan

Dibalik Kehidupan insan
bernama: "Muhammad"

Kalau ada pakaian yang koyak,
Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya.

Beliau juga memerah susu kambing
untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.


Setiap kali pulang ke rumah,
bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan,
sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya
untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina 'Aisyah menceritakan:
"Kalau Nabi berada di rumah,
beliau selalu membantu urusan rumahtangga.

Jika mendengar azan,
beliau cepat-cepat berangkat ke masjid,
dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sembahyang."
Pernah baginda pulang pada waktu pagi.
Tentulah baginda amat lapar waktu itu.
Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan.
Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina 'Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya,
"Belum ada sarapan ya Khumaira?"
(Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina 'Aisyah yang berarti 'Wahai yang kemerah-merahan' )

Aisyah menjawab dengan agak serba salah,
"Belum ada apa-apa wahai Rasulullah."
Rasulullah lantas berkata,
"Kalau begitu aku puasa saja hari ini."
tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.
Pernah baginda bersabda,
"sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya."

Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda sebagai
kepala keluarga.
Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain.
Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu
langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :


"Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?"
"Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar"
"Ya Rasulullah.. . mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh,
kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan?
Kami yakin engkau sedang sakit..."
desak Umar penuh cemas.


Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya.
Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.


"Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?"

Lalu baginda menjawab dengan lembut,
"Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?" "Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak."

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan
di sebelah seorang tua
yang penuh kudis, miskin dan kotor.

Hanya diam dan bersabar
bila kain rida'nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya.

Dan dengan penuh rasa kehambaan
baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid
sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt
dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah saw
menolak sama sekali rasa ketuanan.

Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH
tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain,
ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.

Ketika pintu Syurga telah terbuka,
seluas-luasnya untuk baginda,
baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari,
terus-menerus beribadah,
hingga pernah baginda terjatuh,
lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak.
Fisiknya sudah tidak mampu menanggung
kemahuan jiwanya yang tinggi.

ila ditanya oleh Sayidatina 'Aisyah, "Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?"

Jawab baginda dengan lunak,
"Ya 'Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur."

Rasulullah s. a. w. bersabda,
"Sampaikan pesanku walau sepotong ayat"

Tuesday, August 26, 2008

Pengemis Buta dan Rasulullah SAW

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, ” Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni
Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu,”Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah RA menjawab,”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.”
Apakah Itu?, tanya Abubakar RA.
“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana,” kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada
pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu?”
Abubakar RA menjawab,”Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).” “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu.
”Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.”

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,
”Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata,
”Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun,
ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia....”

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.