Monday, September 29, 2008

Gunung

Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”


Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”

Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.

Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.

Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”

Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.

“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”

Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
**

Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.

Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.

Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”

Sumber: Eramuslim

Monday, September 15, 2008

Membiasakan Shalat Berjamaah

Oleh : Abdullah Gymnastiar

Allah SWT menekankan hamba-Nya untuk shalat berjamaah. Dalam firman-Nya “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”. Anjuran Allah tersebut bukan hanya mendirikan shalat, tapi juga anjuran shalat berjamaah dengan sarana masjid.

Allah memberikan perumpamaan bagi yang datang ke masjid lebih awal, sebelum adzan berkumandang, dengan matahari. Bagi yang menuju ke masjid dalam keadaan adzan dengan bulan, dan yang datang ke masjid setelah adzan dengan bintang. Jika dilihat dari segi cahayanya, tentu sinar matahari lebih bercahaya daripada bulan atau bintang. Namun, tak sedikit yang menyadarinya sehingga nyaman shalat sendiri.

Enggan melangkahkan kaki ke masjid bisa jadi karena penyakit malas. Malas mengayunkan kaki pergi ke masjid. Malas menanggalkan aktivitas yang dirasa lebih penting. Malas kelihatan hebat, bisa menaklukan jutaan orang. Padahal malas tak ubahnya seperti tripleks yang mudah rapuh kena hujan dan panas, serta mudah didobrak.

Malas hanya dapat dikalahkan dengan melawannya. Ingat, dobrakan itu hanya di awal saja. Pada awal mungkin kita merasa kesulitan pergi ke masjid, tetapi setelah satu kaki diayunkan, itu awal keberhasilan menaklukan malas. Begituhalnya ketika adzan berkumadang dalam keadaan bekerja. Keinginan untuk meneruskan pekerjaan begitu menggebu. Terasa sayang jika harus di jeda. Namun, jika seketika kita sanggup menghentikannya, kita telah berhasil memenuhi panggilan-Nya.

Penyebab lain, karena tidak tahu keutamaan berjamaah. Padahal dengan berjamaah akan terjalin keharmonisan, tersadarkan akan eksistensi sebagai hamba. Ketika dalam shaf yang sama bersama hamba Allah yang lain, dengan niat, tujuan yang disembah sama. Dengan begitu semakin sadar akan hamba Allah. Bila mau hitung-hitungan pahala, pahala berjamaah dua puluh tujuh derajat lebih besar daripada shalat sendiri. Subhanallah.

Untuk itu saudaraku, mari kita prioritaskan shalat berjamaah di masjid dengan tepat waktu. Jangan manjakan diri dengan kemalasan karena sesunguhnya malas itu datangnya dari setan yang sekali terkelabui, terjerat selamanya. Wallahu ‘alam bishawab.

http://www.cybermq.com/index.php?kolom/detail/2/455/kolom-455.html

Friday, September 05, 2008

Khusyu' dalam Shalat

Dr H Shobahussurur MA

Sahabat Rasulullah SAW, Hudzaifah r.a mensinyalir bahwa hal pertama yang akan lenyap dari agama Islam adalah khusyu’, sedangkan yang terakhir adalah shalat. Kelak akan banyak orang yang mengerjakan shalat, tapi tidak memperoleh kebaikan di dalamnya. Kamu hampir tidak menemukan seorangpun yang melaksanakan shalat dengan khusyu’ ketika masuk ke dalam masjid.

Hudzaifah r.a. selanjutnya berkata: “Hindarilah olehmu khusyu’ munafiq, yaitu kamu melihat tubuh seseorang dalam keadaan khusyu’ tapi hatinya tidak”. Fudhail bin Iyadh menambahkan: “Sangat dibenci ketika seseorang kelihatan khusyu’, padahal hatinya tidak demikian. Ketika ada seseorang yang kedua pundak dan badannya kelihatan khusyu’, maka dikatakan kepadanya: “Hai Fulan, khusyu’ ada di sini sambil menunjuk dadanya dan bukan disini sambil menunjuk kedua pundaknya”. (Ibn Qayyim, Madârij al-Sâlikîn, 1/521).

Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa khusyu’ dalam shalat dapat timbul karena dua hal, yaitu: 1)- karena keinginan yang kuat, dan 2)- kemampuan mengatasi rintangan. Keinginan kuat dimaksudkan kesungguhan seseorang dalam merenungkan, memahami, dan menghayati ucapan dan bacaan dalam shalat, dengan keyakinan bahwa dia saat shalat itu sedang berkomunikasi dengan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah tentang makna al-ihsân: Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya, dan jika Engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (H.R. al-Bukhârî). Kemampuan mengatasi rintangan maksudnya adalah tekad yang kuat untuk menolak segala hal yang dapat melalaikan hati dari tafakur dan berzikir kepada Allah selama menunaikan shalat. Menghindarkan perasaan was-was (keraguan) dalam shalat karena gangguan nafsu syahwat. (Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, 22/606-607).

Oleh karena itu dalam rangka menghadirkan khusyu’ dalam shalat diperlukan usaha-usaha, antara lain:

1. Melakukan persiapan awal sebelum mendirikan shalat, dengan terlebih dahulu menghayati lafadz Azan yang dikumandangkan oleh muazin, lalu mengikutinya dengan doa. Kemudian mensucikan diri dari hadats kecil dan besar, lengkap dengan melakukan rukun dan sunnahnya. Menggunakan pakaian yang suci dan bersih dengan memperhatikan bahwa pakaian yang dipakai itu didapatkan dari cara-cara yang halal, menutup aurat, membersihkan tempat shalat, menuju ke masjid dengan tenang sambil berzikir dan berdoa, meluruskan dan merapikan barisan, serta mengkondisikan suasana di masjid itu tenang dan aman.

2. Melakukan gerakan-gerakan dalam shalat secara thuma’nînah (tenang), baik ketika berdiri, ruku’, sujud, bangun dari sujud, dan begitu seterusnya. Sabda Nabi Saw.: “Tidak sempurna shalat salah satu di antara kalian, sehingga dia melakukan gerakan-gerakan shalat secara thuma’nînah (tenang). H.R. Abu Daud. Nabi memberi perumpamaan orang yang shalat tanpa thuma’nînah itu ibarat pencuri yang mencuri shalatnya, mencuri ruku’ dan sujudnya karena tidak menyempurnakannya.

3. Mengingat kematian di dalam shalat. Rasulullah berpesan kepada Abi Ayyub r.a.: “Apabila kamu berdiri untuk melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti orang yang pamitan (pergi tak kembali). H.R Ahmad. Dalam hadits riwayat Ibn Hajar, Rasulullah bersabda: “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu, karena jika seorang mengingat kematian dalam shalatnya niscaya akan menyempurnakan pelaksanaan shalatnya. Hendaknya kamu melaksanakan shalat seperti shalatnya orang yang tidak yakin akan dapat melaksanakaan shalat lagi”. Dengan begitu seseorang akan melakukan shalat dengan khusyu’ karena shalat yang sekarang dilakukan diyakini sebagai shalat terakhir, tidak tahu apakah shalat berikut dapat dilakukan karena kematian telah menjemputnya.

4. Merenungi dan menghayati ayat-ayat dan zikir yang sedang dibaca, yaitu dengan cara mengetahui arti dan makna dari ayat, zikir atau doa yang dibaca. Ada sebuah riwayat dari Hudzaifah r.a., bagaimana Rasulullah menghayati ayat-ayat dan doa yang dibaca dalam shalat. Bahwa pada suatu malam ketika Rasulullah melaksanakan shalat, maka beliau membaca al-Quran sambil menguaraikannya (membaca pelan-pelan sambil menghayati maknanya). Bila dalam ayat yang dibaca itu ada kata-kata yang mengandung tasbîh (memahasucikan Allah), maka beliau pun bertasbih. Bila ada kalimat Tanya, beliaupun bertanya. Bila ada kalimat yang mengandung makna ta’awudz (memohon perlindungan), maka beliaupun memohon perlindungan”. H.R. Muslim. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa pada suatu malam ketika melakukan shalat beliau tidak henti-hentinya menangis. Bilal bertanya: Ya Rasulullah, mengapa Engkau menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu ataupun yang akan dating ?. Beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang pandai bersyukur?. Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang menunjukkan kecelakaan bagi orang-orang yang membacanya tetapi tidak merenungi dan menghayati isinya”. H.R. Ibn Hibbân.

5. Membaca ayat-ayat dan doa secara tartil (Q.S. al-Muzammil/73: 4), dimaksudkan agar orang yang melakukan shalat membaca ayat-ayat secara perlahan sambil bertafakkur memahami isinya, memperbagus suara agarlebih khusyu’. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling indah suaranya dalam membaca al-Quran adalah orang yang apabila kamu mendengarnya membaca, kamu memandang dia karena taku kepada Allah. H.R. Ibn Mâjah.

6. Yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa, zikir dan shalat kita. Kita meyakini bahwa kita sedang berkomunikasi dengan Allah. Apa yang kita baca, permohonan yang kita panjatkan didengar langsung oleh Allah. Maka kita tidak pernah lalai ketika berhadapan dengan-Nya. Raslullah bersabda: Sesungguhnya salah seorang di antara kamu, apabila mendirikan shalat, pada hakikatnya dia sedang bermunajat (memohon kepada Allah). Oleh karena itu hendaklah dia memperhatikan bagaimana cara dia bermunajat kepada Tuhannya”. H.R. Hakim.

7. Melakukan gerakan-gerakan shalat sesuai dengan tuntunan yang disyariahkan. Ketika takbir, meletakkan kedua tangan, rujuk, sujud, duduk dan seterunya dilakukan sesuai dengan tuntunan. Tidak membuat cara-cara sendiri, sehingga akhirnya menyalahi tuntunan Rasulullah Saw.

8. Menundukkan pandangan ke arah tempat sujud. Untuk menambah kekhusyu’an, maka orang yang shalat pandangannya hendaknya terpusat pada satu titik, yaitu tempat sujud. Tidak menoleh ke sana kemari, ke atas atau ke kiri kanan. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw apabila mendirkan shalat, beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. H.R. Hakim. Pada waktu duduk tasyahud, beliau memberi isyarat dengan telunjuknya disertai dengan mengarahkan pandangannya kepada isyarat tersebut. H.R. Ahmad.

9. Tidak mengerjakan shalat ketika makanan siap saji. Rasulullah bersabda: “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan” (H.R. Muslim). Hal itu dapat dipahami, karena orang yang shalat akan terganggu ingatannya menuju makanan yang dihidangkan itu.

10. Tidak mengerjakan shalat dalam keadaan menahan kentut, buang air kecil atau besar. H.R. Abu Daud menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menyuruh buang air dulu sebelum melakukan shalat. Bahkan andaikata pada saat shalat keinginan buang hajat itu muncul, maka hendaknya membatalkan shalatnya untuk segera buang air. Sabda Nabi Saw: Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak ada pula ketika berkeinginan buang air kecil atau besar”. H.R. Muslim.

11. Tidak mengerjakan shalat ketika mengantuk. Rasulullah bersabda: Apabila seorang di antara kamu mengantuk ketika mengerjakan shalat, hendaknya dia tidur dulu sehingga mengerti apa yang diucapkan. H.R. al-Bukhari. Hal itu terjadi biasanya pada waktu shalat malam atau shalat Shubuh. Khusyu’ tentu tidak dapat diraih ketika kantuk itu datang.

12. Tidak melakukan gerakan-gerakan diluar gerakan yang diajarkan dalam shalat, umpamanya merapikan pakaian, tempat shalat, mengaruk-garuk badan, menguap, meludah pada waktu shalat. Rasulullah bersabda: Janganlah kamu meratakan (membersihkan) tanah tempat sujud ketika shalat, namun jika mesti dikerjakan maka cukup satu kali saja”. H.R. Abu Daud. Juga kegiatan-kegiatan lain diluar gerakan shalat hendaknya dihindari, agar dapat berkonsentrasi pada bacaan-bacaan shalat.

Marilah kita belajar khusyu’ dalam shalat sehingga shalat kita memberikan arti bagi kita dan orang lain. Jangan sampai shalat kita hanya sekedar menjadi kegiatan rutin tak bermakna yang membebani setiap pelakunya. “Sesungguhnya shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (Q.S. al-Baqarah/2: 45). Mari kita jadikan shalat sebagai kegiatan rutin yang kita cintai, senang melaksanakannya, menghayati kandungannya, dan membawa pengaruh positif bagi kehidupan kita. Kita berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, lalai dalam shalat, dan sia-sia saja apa kita kerjakan. Naûdzu billâh.


*) Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar

Contoh Tauladan

Dibalik Kehidupan insan
bernama: "Muhammad"

Kalau ada pakaian yang koyak,
Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya.

Beliau juga memerah susu kambing
untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.


Setiap kali pulang ke rumah,
bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan,
sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya
untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina 'Aisyah menceritakan:
"Kalau Nabi berada di rumah,
beliau selalu membantu urusan rumahtangga.

Jika mendengar azan,
beliau cepat-cepat berangkat ke masjid,
dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sembahyang."
Pernah baginda pulang pada waktu pagi.
Tentulah baginda amat lapar waktu itu.
Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan.
Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina 'Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya,
"Belum ada sarapan ya Khumaira?"
(Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina 'Aisyah yang berarti 'Wahai yang kemerah-merahan' )

Aisyah menjawab dengan agak serba salah,
"Belum ada apa-apa wahai Rasulullah."
Rasulullah lantas berkata,
"Kalau begitu aku puasa saja hari ini."
tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.
Pernah baginda bersabda,
"sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya."

Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda sebagai
kepala keluarga.
Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain.
Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu
langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :


"Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?"
"Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar"
"Ya Rasulullah.. . mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh,
kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan?
Kami yakin engkau sedang sakit..."
desak Umar penuh cemas.


Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya.
Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.


"Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?"

Lalu baginda menjawab dengan lembut,
"Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?" "Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak."

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan
di sebelah seorang tua
yang penuh kudis, miskin dan kotor.

Hanya diam dan bersabar
bila kain rida'nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya.

Dan dengan penuh rasa kehambaan
baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid
sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt
dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah saw
menolak sama sekali rasa ketuanan.

Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH
tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain,
ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.

Ketika pintu Syurga telah terbuka,
seluas-luasnya untuk baginda,
baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari,
terus-menerus beribadah,
hingga pernah baginda terjatuh,
lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak.
Fisiknya sudah tidak mampu menanggung
kemahuan jiwanya yang tinggi.

ila ditanya oleh Sayidatina 'Aisyah, "Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?"

Jawab baginda dengan lunak,
"Ya 'Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur."

Rasulullah s. a. w. bersabda,
"Sampaikan pesanku walau sepotong ayat"