Friday, October 17, 2008

Memilih Teman Karib

Orang yang engkau pilih menjadi teman karib hendaklah mempunyai lima sifat:

Pertama, orang yang berakal. Karena akal merupakan modal yang utama. Tidak ada kebaikan bersahabat dengan orang bodoh, karena bisa saja ia hendak memberikan manfaat kepadamu tetapi justru memberimu mudharat

Kedua, baik akhlaknya. Sebab berapa banyak orang berakal tetapi dirinya lebih dikuasai amarah dan nafsu, lalu tunduk kepadanya, sehingga tidak ada manfaat bergaul dengannya.

Ketiga, bukan orang fasik. Sebab orang fasik tidak takut kepada Allah.

Keempat, bukan ahli bid'ah. Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid'ah yang dilakukannya.

Kelima, tidak rakus terhadap dunia

(Ibnu Qudamah Al Maqdisy)

Wednesday, October 08, 2008

Jangan Takut Kaya

By: Ust. Tate Qomaruddin, Lc

Dari Abi ‘Abdillah Tsauban bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.” (H.R. Imam Muslim)

Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari hadis di atas, antara lain: pertama, di hadapan seorang muslim, terbuka lebar banyak pintu untuk berbuat baik dengan harta. Kedua, menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta (infak) yang dilakukan seorang muslim, bahwa memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak yang paling mulia. Dalam hadis lain disebutkan,
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu.” (H.R. Imam Muslim)

Persoalannya adalah, tidak mungkin kita dapat berinfak dengan harata jika kita tidak memilikinya. Lebih-lebih jika kita mencermati ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan kita terlibat dalam jihad. Selalu saja disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari semua ayat yang memerintahkan kita berjihad dengan harta dan jiwa, berjihad dengan harta selalu didahulukan, kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111 Surah At-Taubah, yang maknanya,

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan (mendapatkan) surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”

Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut,
“Wahai orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu perniagaan yang menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah denganh harta dan jiwa kalian.” (Q.S. Ash-Shaf 61: 10-11)

Ini diperkuat dengan adanya kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang ada kesalahan persepsi pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering dipahami begini: "Kalau punya harta, zakatlah. Kalau tidak punya, tidak usah mengeluarkan zakat". Secara fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan. Semangat perintah zakat harusnya dipahami: "Carilah uang, kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan perintah Allah yang bernama zakat". Seharusnya kita membawa semangat shalat untuk diterapkan pada zakat. Kita selalu berpikir, kita harus bisa melaksanakan shalat dengan segala perjuangan yang menjadi konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat, mencari tempat shalat, menentukan arah kiblat, menyucikan diri, dan seterusnya.

Itu semua mematahkan anggapan yang masih dianut sebagian orang bahwa kesalihan dan ketakwaan identik dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata, dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya, orang kaya dan orang yang punya jabatan tidak punya tempat di surga. Ini diperparah dengan sering disitirnya hadis-hadis dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia sejauh-jauhnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin juga menyitir hadis sahih tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.

Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah swt. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material lainnya. Orang yang merasa puas dengan apa yang Allah berikan sembari meniadakan keterikatan hatinya dengan harta dan jabatan, tidaklah kehilangan sifat zuhud sekalipun ia kaya raya.

Utsman Bin ‘Affan adalah konglomerat dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk surga. Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau juga termasuk yang dijamin masuk surga. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah yang kaya raya. Tapi justru dia termasuk orang zuhud.

Posisi harta dalam Islam sama dengan posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya ujian! Allah swt. menegaskan,

“Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian.” (Q.S. Al Anbiya 21: 35)

Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani Israil adalah pada wanita.” (H.R. Imam Muslim)

Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih meninggalkan harta, melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala,

Pertama, hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini batu ujian pertama. Rasulullah saw. bersabda, "Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik dan beramal salehlah karena sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian lakukan.’ Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian.’” Lalu Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang mengadakan perjalanan panjang, kusut masai dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya (berdoa) ke langit (sambil mengatakan), "Ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan.” (H.R. Imam Muslim)

Kedua, harta itu tidak menyebabkan sombong.
Orang yang sukses mengelola harta adalah orang yang dengan hartanya justru semakin rendah hati dan menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin ‘Auf yang padahal termasuk orang yang dijamin masuk surga pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika ditanya penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut hanya yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku dari Allah.”

Ketiga, menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh.” Beliau juga memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari neraka walau dengan hanya sebuah kurma.”

Keempat, menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih baik lagi. Karena selain bernilai taqarrub, perbuatan itu juga merupakan upaya silaturahim. Rasulullah saw. bersabda, “Shadaqah kepada orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan).” (H.R. Tirmidzi)

Kelima, menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan finansial. Kekuatan kuffar harus dihadapi dengan kekuatan optimal kaum muslimin. Dan ini tentu saja salah satu kekuatan itu adalah kekuatan maliyyah (finansial).

Jadi, Islam tidak memusuhi harta. Islam juga tidak mengajarkan umat Islam memusuhi orang kaya. Surga terbuka bagi orang kaya. Yagn penting ajaran Islam tentang pengelolaan kekayaan dipatuhi. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Wallahu a’lam.

Sumber: percikaniman.org

Kemelut Rumah Tangga

Kemelut Rumah Tangga (Perselingkuhan dalam Rumah Tangga)

1. Cemburu yang berlebihan
”Sesungguhnya diantara cemburu ada cemburu yang dibenci Allah, yaitu cemburu seorang kepada Suami/Isteri tanpa alasan” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i)

2. Tidak Menjaga Rahasia
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. 2 : Al Baqarah : 187)

3. Terjadi Perbedaan Sudut Pandang
”Janganlah kamu saling marah, jangan saling benci, jangan saling acuh satu sama lain, tapi jadilah kamu satu saudara, tak halal bagi seorang muslim memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari” (H.R. Muslim)

4. Perselingkuhan

a. Perselingkuhan Materi
– Tidak ada keterbukaan dalam mengelola keuangan keluarga-

b. Perselingkuhan Hati

Solusi Selingkuh Hati yang Salah (Isteri) :
· Berdo’a

· Bersikap baik pada suami
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. 41 : Fushshilat : 34-35)

· Berikhtiar mengendalikan emosi
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. 3 : Ali Imran : 133-134)

· Lakukan Interospeksi
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. 59 : Al Hasyr : 18)

· Konsultasikan dengan orang yang tepat
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Al Mujadilah : )

Solusi Selingkuh Hati yang Salah (Suami) :

· Harus Introspeksi diri
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. 59 : Al Hasyr : 18)

· Memberikan Nasehat
· Melibatkan orang lain (konsultasi) {Do’a}
· Talak {Do’a}

Resensitor : Kang Yadi Mulyadi

Ciri Istri Sholehah

tentang-pernikahan.com - Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.

Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ''Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ...'' (HR Hakim).

Ketiga, istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ''Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.''(QS Ar Rum : 21).

Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.'' (HR Thabrani dan Hakim).

Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita, para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi 'yang terbaik', sementara kita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imam ideal bagi keluarga kita masing-masing.

Sumber: tentang-pernikahan.com

Puasa Syawal

Dari Abi Ayyub Al-Anshari, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia berpuasa selama satu tahun (HR. Jama'ah). Subhanallah, Mahasuci Allah, Dzat yang telah menurunkan aturan-Nya melalui Rasul-Nya yang begitu indah dan tinggi nilainya. Setelah kita berpuasa selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadhan, diselingi hari raya satu hari, lalu kemudian kita dianjurkan untuk berpuasa selama enam hari dengan imbalan nilai pahala yang begitu besar, seolah-olah berpuasa selama satu tahun.

Sayyid Tsabiq dalam Fiqhus Sunnah (III: 221) memberikan komentar terhadap hadis ini bahwa setiap kebaikan akan mendapatkan balasan 10 kali lipat (Q.S. 6:160). Puasa satu bulan (Ramadhan) senilai dengan 10 bulan, dan enam hari senilai dengan 60 hari (dua bulan), sehingga jumlahnya senilai dengan dua belas bulan. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa puasa tersebut boleh dilaksanakan enam hari secara terus menerus mulai tanggal dua sampai tujuh Syawal, atau dilaksanakan berselang-seling, yang penting dalam bulan Syawal. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafii berpendapat, bahwa yang lebih utama nilainya, puasa tersebut dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri secara terus menerus selama enam hari.

Ada beberapa hikmah dan tujuan mulia, kenapa ada anjuran puasa sunnah setelah kewajiban puasa. Hikmah itu antara lain untuk menanamkan pengertian dan kesadaran bahwa ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT, tidaklah hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun sepanjang waktu. Benar, bahwa bulan Ramadhan adalah Sayyidussyuhur (panglimanya bulan-bulan). Tetapi bukan berarti ibadah dan taqarrub itu hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja. Sayangnya, kita masih melihat betapa banyak kaum muslimin yang merasa terbebas dari 'belenggu ibadah' manakala Idul Fitri datang. Lalu tidur sepulas-pulasnya dan makan sekenyang-kenyangnya. Seolah-olah latihan panjang selama Ramadhan tidak memberikan bekas sedikit pun. Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Khashais al 'Ammah Fi al Islam (1989:137) menyebut orang-orang tersebut dengan 'Ramadhani' (spesialis bulan Ramadhan).

Hikmah kedua, jika orang sudah bisa mengendalikan dirinya, terutama pada saat mendapat kesempatan dan dengan situasi sosial yang mendukungnya, maka Insya Allah orang tersebut akan mampu mengendalikan diri sepanjang hayatnya. Pada saat ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya ataupun mendapat sebuah kedudukan, meski dengan jalan mengorbankan harga diri dan kejujuran, maka ia akan tetap tegar mampu mengendalikan dirinya tidak hanyut pada arus penghalalan segala cara tersebut. Dengan demikian, orang yang mampu mengendalikan dirinya adalah orang yang memiliki sayyidul akhlak (panglimanya akhlak), demikian sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis riwayat Imam Daelami dari Anas. Wallahu 'alam bishshawab

Sumber: republika.com

Bulan Aktualisasi

By A. Ilyas Ismail

Dalam kalender hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai bulan Syawal. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab pra-Islam memiliki pandangan negatif mengenai bulan ini. Mereka, misalnya, menolak atau melarang melangsungkan pernikahan di dalamnya. Namun, tradisi ini dibatalkan oleh datangnya Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri, seperti dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, menikahi Aisyah pada bulan Syawal dan memulai hidup bersama dengannya juga pada bulan Syawal. Kenyataan ini dibanggakan sendiri oleh Aisyah. Katanya, ''Siapa di antara isteri-isteri Nabi seberuntung aku di sisinya?''

Kata Syawal berasal dari kata Syala, berarti naik atau meninggi (irtafa'a). Dikatakan menaik atau meninggi, boleh jadi karena dua alasan. Pertama, karena pada bulan ini, kedudukan dan derajat kaum muslimin meninggi di mata Tuhan setelah mereka menjalankan puasa Ramadhan sebulan lamanya, seperti dijanjikan Nabi SAW dalam sekian banyak hadis. Kedua, karena secara moral kaum muslimin dituntut untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai yang mereka tempa selama bulan Ramadhan. Semangat Ramadhan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kejujuran, kesabaran, disiplin, takwa, dan kesetiakawanan sosial harus tetap nyata pada bulan Syawal ini dan bulan-bulan berikutnya sepanjang hidup kita. Jadi, Syawal, sesuai dengan makna hafiahnya, dapat disebut sebagai bulan aktualisasi nilai-nilai.

Peningkatan dan aktualisasi nilai-nilia di atas, agaknya memang perlu kita ingat. Tidak semua kaum muslimin mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengabaikannya bersamaan dengan berlalunya bulan suci itu. Kenyataan ini tidak saja berlawanan dengan prinsip istiqamah, sikap keberagamaan yang stabil dan konstan, tetapi juga bertentangan dengan hakekat agama itu sendiri yang dalam Kitab Suci disimbolkan dengan istilah-istilah seperti shirath, sabil, syari'ah, dan minhaj, yang kesemuanya berarti jalan.

Ini mengandung makna bahwa keberagamaan itu adalah suatu perjalanan panjang tanpa henti dan tanpa kenal lelah. Tujuan akhir agama itu adalah perjumpaan dengan Tuhan itu sendiri dalam perkenan-Nya. Dalam perjalanan itulah terdapat suatu dinamika dan kebahagiaan yang sungguh sangat sejati bagi orang yang menempuhnya, terutama ketika ia semakin dekat (taqarrub) dengan Tuhannya.

Sikap dan semangat keberagamaan seperti itulah agaknya yang dipesan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya kepada seluruh kaum muslimin dalam ayat ini: ''Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu menuju dan berharap.'' (Q. S. 94: 7-8).

Sumber: republika.com